Imam Hasan Al-Banna pernah berpesan, kalian tidak
akan terkalahkan karena sedikitnya jumlah kalian, lemahnya sarana dan
kurangnya alat-alat pendukung, atau karena banyaknya musuh kalian,
berkumpulnya musuh-musuh menentang kalian. Mengapa…? Karena walaupun
semua isi bumi ini berhimpun menjadi satu memusuhi kalian, niscaya
mereka tidak dapat membahayakan kalian kecuali apa yang telah ditentukan
Allah kepada kalian.
Tetapi ada satu sebab yang dapat
menghancurkan kalian, dan menyebabkan kalian kehilangan segala-galanya
yaitu, JIKA HATI KALIAN TELAH RUSAK, Allah tidak memperbaiki amal
kalian, suara kalian telah terpecah belah dan saling bertentangan
pendapat. Sebaliknya selama kalian bersatu, selalu menghadap Allah SWT,
senantiasa mengikuti dan taat kepada-Nya, berjalan sesuai dengan manhaj
yang diridhai-Nya, kalian tidak akan pernah merasakan lemah dan hina.
Jadilah kalian sebagai umat yang paling tinggi. Allah akan selalu
bersama kalian dan tidak akan menyia-nyiakan amal serta usaha kalian.
Subhanallah,
pesan yang begitu mengena. Lemahnya semangat pasti senantiasa
menghampiri kita, itu adalah hal yang biasa, yang luar biasa adalah,
jika kita sadar, kemudian bangkit, dan tidak memberikan tempat sedikit
pun pada setan untuk terus menggoda….
Satu lagi penggugah semangat
jiwa, amat khusus untuk jiwa lemah seperti saya. Ku bersimpuh di
halaman Allah, kusujudkan wajahku pada debu-Nya, tidak bisa ku
sembunyikan hatiku dari pandangan Allah, tidak bisa, tetap ku ingin
kembali pada-Nya….
Mulanya ku anggap mudah perjalanan ini. Dengan
idealisme khas seorang remaja, kusambut hangat uluran tangan mereka yang
ramah mengajakku. Pada awalnya, aku belum memahami sepenuhnya arti
perjalanan ini. Begitu pun arti perjumpaan dengan Yang Maha Agung, yang
konon merupakan puncak kebahagiaan manusia.
Agaknya
kekurangpahaman ini menyebabkan banyaknya rekan seperjuangan ku yang
mengurungkan niat. Atau mereka segera merasa letih, atau memilih jalan
lain yang tampaknya lebih menjanjikan kemudahan. Namun aku tiada
terganggu. Sementara jalan di hadapan ku semakin menanjak dan menyempit.
Dan waktu pun terus berlalu…Aku dan lainnya terus melangkah
terseret-seret. Hampir seperempat abad usiaku aku habiskan di jalan ini.
Dan kini makin kupahami tabiat jalan yang telah kupilih.
Entah
sudah untuk yang keberapa kali lutut ini bergetar. Nafas pun mulai
tersengal. Kadang kujumpai seseorang berdiri di tengah jalan. Ia
tampaknya tidak menyukai kehadiranku. Tapi aku harus melewati jalan itu.
Dengan segenap kemampuan kuhadapi ia. Terkadang saudara-saudaraku
tinggal diam, membiarkan ku berkelahi sendirian.
Entah berapa kali
sudah aku tersungkur. Orang bilang aku terlalu ringkih untuk
menuntaskan seluruh perjalanan. Tapi aku tidak mau peduli. Masih pekat
kepercayaan ku, Ia yang akan kujumpai di sana senantiasa akan memberikan
kekuatan gaib-Nya kepadaku.
Kini di hadapanku berdiri angkuh
tebing terjal. Tanahnya coklat basah. Ada jalan setapak. Di pinggirnya
ada semak-semak liar, yang menatap kami dengan masam. Sementara dari
sudut mataku, dapat kutangkap adanya jalan lain yang jauh lebih mudah.
Tak ada tanah licin yang menantiku tergelincir. Tak ada semak yang
mengejek. Jalannya pun lapang dan teduh. Tapi aku tak mau menatap jalan
itu. Kupertajam tatapanku ke arah tebing angkuh tadi. Samar dapat
kulihat jejak-jejak kaki orang-orang sebelumku. Namun terkadang tak
kulihat adanya jejak sama sekali.
Dan babak baru perjalanan pun
kami mulai. Setiap langkah harus diperhitungkan dengan cermat. Salah
pijak, hampir pasti akan tergelincir. Terpaksa kuakui kalau nyali ini
agak menciut. Namun kututupi sedapatnya. Akupun harus melangkah naik.
Ah…seorang
saudaraku tegelincir, tepat di sebelah ku! Kuulurkan tangan menahan
lajunya. Tapi terlalu berat. Dengan pasti aku turut terseret. Namun ia
tidak berusaha untuk turut naik. Sementara pijakanku pun semakin tak
pasti. Dengan berat kuputuskan untuk melepaskan peganganku. Ia mengerti,
ia ingin segera menuju jembatan yang memisahkan jalan kami dengan jalan
lain yang lebih ramah, walau entah menuju ke mana….
Bahkan sempat
kudengar kabar, terhentinya perjalanan salah seorang saudaraku yang
dulu turut membimbingku melewati masa-masa awal perjalanan. Dan semakin
banyak saja yang mengikuti jejak mereka!
Di setiap jalur yang kami
tempuh, ada tempat-tempat peristirahatan sejenak. Tempat kami
melepaskan segala keluh kesah dan keletihan. Biasanya Ia akan menurunkan
pembantu-pembantu-Nya untuk menghibur kami, orang-orang yang
mendambakan perjumpaan dengan-Nya. Di sini aku biasa menangis sejadinya.
Menghimpun keberanian, guna melanjutkan langkah.
Rabbku, telah
kupenuhi panggilan-Mu, membawa tubuh ringkih ini melewati jalan yang Kau
kehendaki. Telah kucoba melepas segenap yang aku mampu untuk mengatasi
beratnya medan yang menghalang. Telah coba ku atasi sedapatnya panasnya
hari-hari kulewati.
Namun ampuni aku ya Rabbi. Betapa seringnya
hamba tertegun ragu, untuk melanjutkan perjalanan yang panjang ini.
Semuanya memang dikarenakan kelemahan hati ini yang masih saja berharap
mencicipi kenikmatan duniawi.
Kini pun hati yang peragu ini masih
diguncang gundah. Akankah Kau terima buah karya tangan lemah ini?
Akankah Kau hargai, apabila saat ini hatiku masih juga mengharapkan
wajah lain selain wajah-Mu? Jika masih juga kunanti senyum lain selain
senyum-Mu? Juga masih kudambakan pujian selain dari pujian-Mu? Betapa
semakin berat persangkaanku akan kesia-siaan amalanku, jika kuingat
Engkau Maha Pencemburu!
Ada kudengar jalan lain yang jauh lebih
sulit dari yang kini kutempuh. Orang-orang yang melewatinya adalah
orang-orang perkasa, dengan nyali melebihi singa. Mereka mempertaruhkan
segalanya, hatta nyawa sekalipun. Mereka meyakini dan merasakan,
meregangnya nyawa dari jasad justru mempercepat perjumpaan mereka dengan
sang Kekasih.
Ada terpikir olehku untuk melewati pula jalan itu.
Namun aku cukup arif untuk menyadari, betapa diri ini tak layak
disejajarkan dengan mereka. Siapakah aku ini, dibandingkan mereka yang
senantiasa bersimbah peluh dan debu, untuk membuktikan kecintaan
kepada–Nya? Betapa lancangnya aku mengukur diri dengan mereka yang
menghabiskan malam-malamnya dengan sujud tersungkur, mengharapkan
ampunan dan cinta-Nya. Dan aku pun harus bersabar…..
Kupandangi
tanah datar di hadapanku. Di salah satu sisinya ada lembah yang terus
menyatu dengan kaki gunung. Perlahan kudengar gemericik air kali.
Kuseret langkah ke sana. Gemericik suara dedaunan dan teriakan serangga
ilalang menemani kesunyianku.
Kulepas alas kaki. Hati-hati
kumasukkan kaki ke beningnya air. Terus menuju ke tengah-tengah arus.
Kuresapi dan kunikmati kesejukannya. Kuusap wajah dan kepala, dan segera
kurasakan kesegaran yang luar biasa. Selanjutnya aku telah tertunduk di
sebongkah batu besar di tengah-tengah kali.
Sejuta pikiran dan
angan bersatu di benakku. Perjalanan panjang telah mengantarkanku
kemari. Kuharap kesunyian tempat ini dapat meneduhkan gejolak panas di
benakku.
Tapi sampai berapa lama aku berada dalam kesunyian
seperti ini. Gunung diam di hadapanku justru mempertebal kebosananku.
Kicauan burung yang ramai pun tak mampu menembus kekosongan hatiku.
Kulihat sekelilingku… Sepi…
Aku harus segera berlari, kembali ke
rombongan. Pesona tempat ini ternyata tak mampu mengobati hatiku yang
sunyi. Aku harus bergabung bersama mereka, kembali melintasi semak
berduri. Seraya terus menetapkan angan, akan suatu peristirahatan abadi.
Akan suatu taman yang rindang, yang kaya dengan aneka buah, yang di
bawahnya mengalir sungai-sungai……
Ya Rabbi, walau berat kurasa, tetapkanlah kakiku di jalan dakwah ini…….. selamanya……
Tidak ada komentar:
Posting Komentar